Sarat dengan komedi hitam, Rick and Morty selalu berhasil menyampaikan buah-buah pikiran seputar kehidupan yang hampa. Bagaimana bisa?
Nihilisme bukan lagi budaya baru di planet Bumi. Ide-ide ikonik Nietzsche tentang kosongnya nilai eksistensi umat manusia di alam semesta sudah populer sejak lama lintas media film dan televisi. Mulai dari Trainspotting (1996), Fight Club (1999), True Detective (2014-sekarang), hingga BoJack Horseman (2014-sekarang), nihilisme selalu hadir hampir di setiap karya pada layar lebar dan televisi.
Tapi, dari sekian banyak tayangan yang sudah tercipta, tidak ada satu pun yang berhasil menyajikan gagasan-gagasan nihilisme sebagaimana cerdas, sebagaimana briliannya serial televisi Rick and Morty. Sarat dengan komedi hitam (gelap), Rick and Morty selalu berhasil menyampaikan buah-buah pikiran seputar kehidupan yang hampa. Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa kisah seorang ilmuwan tua yang sehari-hari pergi bertualang dengan cucunya mampu merepresentasikan ide jika kehidupan manusia di alam semesta sama sekali tidak memiliki arti?
Dikreasikan oleh Dan Harmon dan Justin Roiland sebagai serial animasi, setiap episode Rick and Morty mengikuti cerita seorang ilmuwan tua, bernama Rick Sanchez, yang jenius dan sedang bosan menjalani masa tuanya. Rick lalu menghabiskan hari-harinya dengan pergi bertualang melintasi dunia-dunia paralel dan luar angkasa bersama cucu laki-lakinya, Morty Smith. Sejujurnya, kalian bisa saja menyebut Rick and Morty adalah versi kartun dari trilogi Back To The Future (1985-1990).
Harmon dan Roiland memang sama sekali tidak pernah menyembunyikan obsesi mereka pada karya-karya fiksi ilmiah. Menjelajah karya-karya fiksi ilmiah dan horor sampai seluk beluk terdalamnya bukan lagi pekerjaan baru bagi mereka berdua. Hampir pada setiap episode Rick and Morty sering diselipkan adegan atau cerita yang mengambil referensi dari karya-karya lainnya di rumpun serupa—entah Ghostbuster, David Cronenberg, Inception, Freddy Krueger, Zardoz, dan masih banyak lainnya.
Terus menerus menggali aliran fiksi ilmiah dan horor, Rick and Morty pun mengadaptasi sejumlah kebiasaan yang berlaku pada kedua aliran itu. Horor kosmik adalah salah satunya. Sebuah gaya bercerita yang populer setelah H.P. Lovecraft melahirkan literasi ikoniknya, The Call of Ctulhu. Jika menaruh cukup perhatian, kalian bahkan akan melihat sekilas ilustrasi monster Ctulhu muncul pada segmen pembuka setiap episode.
Kembali tentang horor kosmik—gaya bercerita berikut adalah unik. Tidak peduli medium yang digunakan, entah tulis atau visual, horor kosmik akan selalu dapat mengerdilkan status manusia hanya dengan khayalan. Horor kosmik dapat memunculkan teror kepada manusia, bukan dengan suster yang tiba-tiba sedang keramas, tapi dengan imaji bahwa keberadaan manusia di alam semesta tidak lebih berarti dari sekedar butiran debu. Nihil.
Gaya bercerita seperti horor kosmik dapat memberikan suatu imajinasi yang baru, yang lantas ketika disimak, akan dapat memberi rasa ngeri, takut, atau mungkin saja menjijikan. Horor kosmik selalu punya potensi untuk seketika mengacaukan realitas yang sebelumnya dipegang teguh oleh seorang manusia. Wajar, sebab horor kosmik memang sering digunakan oleh para pencerita agar menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan standar namun menyulitkan, seperti “Apa tujuan hidup bangsa manusia sebenarnya?” atau “Bagaimana wujud Tuhan?” atau juga “Apa yang dialami oleh manusia setelah kematian?”
Pada The Call of Ctulhu misalnya, teror bukan datang dari keadaan dimana seorang protagonis menerima ancaman mematikan yang dapat saja membunuhnya, tapi datang dari ditemukannya The Great Old One, enititas raksasa yang meniadakan arti kehadiran manusia di alam semesta.
Rick and Morty sendiri, meski berwajah komedi, justru senantiasa mengadaptasi gaya narasi H.P. Lovecraft tersebut. Mereka seringkali melompat dari satu dunia paralel ke dunia paralel lainnya, lalu menyentil keabsahan realitas para manusia dengan satu-dua imajinasi sederhana, namun kritis. Pada episode Get Schwifty, Harmon menggunakan horor kosmiknya, malah sempat menuliskan khayal jika suatu ketika akan tiba saatnya makhluk-makhluk superior dari luar angkasa datang, lalu mengancam kesejahteraan planet Bumi, dan menjadi Tuhan terbaru bagi umat manusia.
Makhluk-makhluk itu bernama Cromulon, berukuran raksasa, layaknya asteroid dan planetoid. Berbentuk kepala manusia dan bermaterikan bebatuan. Sejumlah Cromulon mendarat di planet Bumi, dan seketika meneror penduduk setempat, layaknya Arrival, karya fenomenal Dennis Villeneuve di tahun 2016.
Berbeda dari Arrival yang membahas isu perspektif dan komunikasi, Cromulon secara gamblang menyepelekan kedudukan manusia sebagai warga alam semesta. Bersama mereka, berbagai premis lantas muncul untuk menyentil sejumlah kultur yang biasa hadir di kehidupan sosial manusia. Mulai dari tentang orisinalitas agama—lahir dan bermula hanya dari kebetulan saja, sampai dengan kenyataan bahwa arti hadir manusia beserta planet Bumi sebenarnya hanyalah ajang pencarian bakat.
Entitas kosmik berukuran besar bukanlah dongeng baru pada aliran horor kosmik, apalagi di aliran fiksi ilmiah. Entah novel, serial televisi, atau film kerap menggunakan entitas kosmik berukuran besar sebagai awal cerita. Lihat saja Armageddon, War of The Worlds, atau makhluk-makhluk ras leluhur pada novel The Call of Cthulhu. Memang bukan satu-satunya akibat, tapi hadirnya entitas besar dari luar angkasa seperti Cromulon, dapat menjadi jembatan indah untuk mencoba menjawab teka-teki terhadap eksistensi umat manusia. Contoh, seberapa penting kehadiran manusia di alam semesta?
Kisah-kisah fiksi ilmiah klasik seperti Star Trek, Star Wars, atau dongeng para superhero Marvel, seringkali menjadikan umat manusia, secara metafora, adalah pusat dari alam semesta—adalah entitas yang penting hadirnya di muka dunia. Menjadi lawan atau menjadi kawan, menjadi pemimpin regu atau menjadi budak, ras manusia selalu diposisikan sebagai peran utama yang menentukan nasib seluruh dunia. Lalu sebaliknya, horor kosmik justru menyerang gaya narasi seperti itu. Horor kosmik malah bertanya, “Bagaimana kalau ternyata alam semesta sama sekali tak peduli pada eksistensi umat manusia?”
Teror datang. Depresi dan pesimis jadi jawabnya.
Rick dan Morty menyatakan dengan sempurna konsep pesimisme ini di muka layar. Mereka berdua bahkan pernah mati, hanya untuk digantikan oleh Rick dan Morty versi lainnya dari dimensi realitas yang berbeda. Rick and Morty bukan cuma berbagi pesan kalau umat manusia hanyalah butiran debu di alam semesta, tapi juga mengingatkan kalau manusia mungkin saja sebenarnya adalah butiran debu dari sekian banyak versi debu di alam semesta multi-dimensi tanpa batas.
Menariknya, Harmon dan Roiland lantas menjadikan kesan pesimis itu sebagai senjata komedi.
Lain contoh pada episode The Ricks Must Be Crazy, diceritakan bila aki pesawat luar angkasa Rick ditenagai oleh alam semesta buatannya sendiri, berukuran mikro, dan menjadi rumah bagi alien-alien berwarna hijau mungil, yang bisa jadi berukuran bahkan lebih kecil daripada sebuah atom. Lalu di alam semesta buatannya itu, Rick berperan sama sebagaimana Cromulon atau monster Cthulhu, menjadi entitas kosmik yang di-Tuhan-kan.
Rick menjadi Tuhan di tengah dunia atas dimensi yang berbeda. Di tengah dunia yang ia ciptakan sendiri.
Dengan jumlah alam semesta yang berlapis-lapis tanpa batas, berjuta jenis kemungkinan di luar kultur biasa umat manusia pun ditawarkan. Perlahan, nilai moral serta eksistensi hilang artinya, dan yang menyisa hanya pesimis.
Sejalan Nietzsche dan filosofinya, Rick and Morty senantiasa mempertanyakan eksitensi umat manusia di alam semesta. Baik eksplisit atau implisit, Harmon dan Roiland selalu menyelipkan teka-teki terburuk di dunia tersebut. Mereka menciptakan karakter bernama Mr. Meeseek yang terlahir hanya karena satu tujuan—Mr. Meeseek terlahir untuk mewujudkan apapun permintaan mereka yang memanggilnya, lalu akan meninggal setelahnya. Harmon dan Roiland juga mencetuskan dialog sederhana, namun cerdas di antara Rick dan salah satu robotnya. Robot itu bertanya apa tujuan dirinya diciptakan, lalu diklarifikasi oleh Rick jika robot itu dibuat hanya untuk membawakan mentega di meja makan. Robot itu tersedih, menyadari arti eksistensinya cuma demi hal yang biasa saja, “Oh, ya, Tuhan,” ujarnya pasrah, yang dibalas oleh Rick, “Selamat datang di klub, teman!”
Tidak bisa disanggah, mempertanyakan tujuan sebenarnya dari eksistensi umat manusia akan memancing rantai berpikir terus berputar tanpa henti. Pertanyaan tersebut ialah diskusi tak berujung. Tanya dengan lembar jawaban yang kosong. Hanya satu, bagi Rick Sanchez, “kosong” masih dapat diterima sebagai jawaban.
Menggunakan formula matematika yang membingungkan, sains mengizinkan umat manusia untuk dapat menebak sejumlah teka-teki tentang alam semesta. Tapi sebagai makhluk berperasaan, manusia juga harus rela berhadapan dengan fakta sebagaimana biasanya eksistensi mereka di muka semesta. Tak berarti apa-apa. Hampa. Sekadar celaka yang tanpa sengaja terjadi. Rick and Morty menunjukkan jika logika murni bisa mendekatkan umat manusia dengan perasaan pesimis akan kehadiran mereka di antara bintang-bintang.
Sains dapat menghilangkan indahnya tradisi serta emosi, lantas mengubah semua pengalaman hidup manusia menjadi sesuatu yang nihil, tanpa esensi lagi.
Nietzsche pernah menulis The Parable of The Madman—narasi seorang pria tua yang tiba-tiba datang ke pusat kota, lalu meracau tanpa henti, “Tuhan sudah mati! Dan kita telah membunuhnya!” Namun tentu, Nietzsche tidak bermaksud jika Tuhan sudah benar-benar mati secara harfiah di tangan manusia. The Parable of The Madman merupakan metafora jika setelah revolusi ilmu pengetahuan, Tuhan (dan agama) yang sebelumnya senantiasa memberi umat manusia tujuan hidup dan nilai eksistensi akan lenyap, sebab tidak akan relevan di hadapan sains dan ilmu pengetahuan.
Barangkali Nietzsche berpikir jika pada akhirnya umat manusia mampu menemukan jawaban dari teka-teki alam semesta, definisi Tuhan akan dengan sempurna kembali pada titik nol. Kosong.
Lantas, setelah kematian Tuhan dalam filosofi, maka nihilis lahir. Hampa, cuma mengambang tanpa arah, tanpa makna, tanpa arti.
Begitulah Rick Sanchez sehari-hari. Seorang ilmuwan super jenius, yang bahkan mampu menciptakan alam semesta sendiri (seperti Tuhan), ia pun mengerti hampanya eksistensi umat manusia di alam semesta.
“I am in great pain! Please help me! (Aku merasakan sakit yang hebat! Tolong aku!),” teriak Rick Sanchez sehari-hari di balik frasa, “Wubbalubbadubdub!” yang ikonik.
Pergulatan melawan eksistensi yang nihil adalah latar utama Rick and Morty. Rick tanpa henti menggunakan sains untuk melawan mitos, cinta, agama, tradisi, dan hampir segala macam kultur lainnya di kehidupan manusia. Rick menyebut cinta cuma reaksi kimia, sekolah hanya buang-buang waktu, juga menentang keberadaan Tuhan. Sementara cucunya, Morty, harus berulang kali berhadapan dengan krisis eksistensi dan ambiguitas batas nilai moral—yang mana benar yang mana salah, yang mana baik yang mana buruk, akibat semua ulah jahil kakeknya yang hanya sedang bosan.
Artikel ini pertama kali tayang di Whiteboard Journal
0 Comments