Merayakan karir Quentin Tarantino adalah merayakan pencuri. Adalah sama dengan mempertanyakan kembali makna orisinalitas.
Anda tidak perlu mengaku pencinta film. Mungkin Anda tidak perlu menggemari film sedemikian rupanya. Tapi, Quentin Tarantino bukanlah nama yang asing untuk didengar.
Sosoknya merupakan salah satu sutradara terpopuler di dalam dua dekade terakhir. Sukses melahirkan delapan film yang ikonik, Tarantino memberikan dampak besar bagi catatan sejarah industri layar lebar, pun menginspirasi banyak penggiat film agar berkarya menggunakan pendekatan-pendekatan yang hanya dapat dideskripsikan oleh namanya sendiri—Tarantinoesque.
Omong-omong, Tarantinoesque adalah entri resmi pada kamus Oxford.
Pertanyaannya, mengapa Tarantino begitu spesial? Mengapa karya-karyanya diapresiasi tinggi? Beberapa kritik memuji dialog-dialog tajamnya. Beberapa lagi, memuliakan gayanya ketika memvisualisasikan kekerasan, atau kepandaiannya di saat menulis cerita-cerita non-linear. Hanya satu, eksklusivitas Tarantino justru bermula dari bagaimana lihai dia mencuri ide dari film-film lainnya.
Benar. Seperti Swiper, Tarantino biasa mencuri.
Sang sutradara mengakui sendiri kebiasaannya itu. Pada kesempatan berbicara dengan Empire Magazine, ia berceloteh, “Aku mencuri dari setiap film yang pernah dibuat.” Menggunakan referensi-referensi visualnya terhadap film memang sudah menjadi tanda tangan Tarantino. Kadang-kadang, pengutipan ia lakukan tersirat, selayaknya tribut kepada sesama pelaku film. Sementara di lain waktu, berupa replika begitu sama—eksplisit, akurat, juga kembar. Atas kondisi tersebut, Tarantino pun lazim berdiri di pusat kontroversi selama bertahun-tahun.
Tahun 1992 misalnya, ketika film debutnya, Reservoir Dogs, berada di bawah pengawasan ketat, setelah sejumlah kritikus menuding Tarantino menjiplak film bertema kriminal asal Hong Kong, City on Fire (1987). Sepanjang durasi 20 menit, City on Fire terlihat identik dengan epilog Reservoir Dogs, serta terdapat sejumlah babak yang menyerupai satu sama lain. Termasuk adegan Mexican-standoff yang tersohor.
Bukan Reservoir Dogs saja. Hampir setiap karya Tarantino memiliki “sumber inspirasi”-nya sendiri. Jackie Brown (1997) banyak dipengaruhi oleh Foxy Brown (1974). Dua buah kreasinya tentang wanita tangguh, Kill Bill: Volume 1 dan Kill Bill: Volume 2 berakar kuat kepada sinema Jepang, Lady Snowblood (1973). Sedangkan Inglourious Basterds (2009), diturunkan dari gagasan utama The Dirty Dozen (1967).
Sebagian memandang kesamaan-kesamaan itu ialah bentuk penghormatan—sebuah tribut. Sebuah praktik dasar sejak sejarah perfilman dimulai. Sebuah cara bagi Tarantino untuk mengapresiasi film-film kesukaannya. Namun Tarantino menolak dugaan tersebut. Melalui wawancara yang sama, ia menjelaskan, “Seniman hebat mencuri. Mereka tidak melakukan tribut.”
Menjadi semakin menarik, sebab pernyataannya amat mencerminkan pemikiran Pablo Picasso, pekerja seni legendaris asal Spanyol. “Seniman yang baik meniru, seniman hebat mencuri,” begitu pesan Picasso.
Lantas, sebagaimana Picasso, Tarantino adalah seniman jempolan. Bahkan buah-buah tangannya dikenal bak orisinalitas. Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa hasil mencuri dapat diterima sebagai pekerjaan yang autentik?
Atas usaha memahami Tarantino—bagaimana ia mencuri, penting agar memahami bagaimana latar belakangnya. Berbeda dari sutradara-sutradara film kebanyakan, karir Tarantino di industri layar lebar tidak dimulai dari ruangan kelas atau lokasi shooting, melainkan dari rak-rak toko film, dimana ia bekerja sebagai pramuniaga, dan memperoleh reputasi atas pengetahuan luasnya tentang sinema dan perfilman. Tarantino tidak pernah menerima pendidikan formal bagaimana cara membuat film. Dia justru mempelajari cara membuat film melalui hobinya menonton film. Secara alamiah, imitasi kemudian menjadi metode terbaiknya.
Faktanya, Tarantino sering mengawali naskah-naskah filmnya dengan daftar nama sutradara dari film-film yang menjadi sumber inspirasinya.
Tarantino memang belum pernah menyembunyikan aksi-aksi pencuriannya. Ia pun bangga menunjukkannya ke hadapan publik. Mungkin sebab harus diakui pula, berkat metode imitasinya, ia mampu melakukan apa yang gagal diwujudkan oleh sutradara-sutradara kebanyakan. Tarantino berhasil melahirkan sesuatu yang baru.
Meskipun terdengar paradoks, film-film dari Tarantino sungguh menawarkan sensasi kemurnian karakter, terlepas dari segudang sumber inspirasinya. Ini mengapa seringkali Tarantino dipuja-puja, disebut-sebut berdiri di barisan sutradara terbaik era postmodernism.
Postmodernism di industri layar lebar dapat dideskripsikan sebagai masa dimana para penggiat film mulai mempertanyakan bagaimana tata cara penciptaan sinema di arus utama, lalu memilih gaya dan pendekatan yang berlawanan. Lain kata, anti-mainstream. Menantang modernitas. Salah satu prinsip dari postmodernism ialah gagasan bahwa tidak ada yang baru di dunia seni; setiap ide, aksen, model, atau apapun yang terlahir di dunia seni adalah hasil daur ulang, dan senantiasa digunakan berulang kali.
Reservoir Dogs mungkin mencuri adegan Mexican-standoff dari City on Fire, namun City on Fire pun boleh jadi mencatutnya dari The Good, The Bad, and The Ugly (1966). Begitu juga Pulp Fiction (1994), karya kedua Tarantino itu penuh oleh hasil curian dari film-film adiluhung, utamanya dari pergerakan French new wave —salah satu pergerakan penting di industri layar lebar, dimana para sineas muda Prancis menantang kaidah-kaidah tradisional penciptaan film.
Adegan dansa Vincent Vega dengan Mia Wallace diinspirasi oleh Band of Outsiders (1964). Sementara koreografinya mengutip ilham kepada film 8½ (1963), Batman (1966), dan The Aristocats (1970). Lantas gimmick “koper misterius” di sepanjang kisah Vincent Vega dan Jules Winnfield ialah replika terhadap film Kiss Me Deadly (1955). Dan tentu, babak di saat Butch Coolidge bertemu Marsellus Wallace di perempatan jalan, bermula dari Psycho (1960).
Yang membuat Tarantino istimewa adalah kebiasaannya mencuri tidak pernah mengacu pada satu sumber saja. Ia cenderung mencuri sedikit demi sedikit, namun dari beragam sumber dengan jumlah berlimpah, serta berasal dari rentang dekade yang begitu panjang. Kemudian setiap hasil curiannya dijahit menjadi kesatuan yang utuh. Siasat seperti ini diberi nama pastiche. Satu elemen utama di dalam postmodernism.
Pastiche dapat diaplikasikan di mana saja, kapan saja, dan terhadap medium seni apapun. Bahkan, beberapa orang mungkin akan lebih mengenal praktik pastiche pada medium musik, lebih-lebih di aliran hip-hop, ketika seorang produser atau musisi menggunakan metode sampling, demi mengutip sejumlah baris musik milik musisi lainnya, untuk menciptakan musik yang baru. Dan sebagaimana Tarantino, praktik sampling biasa berdiri di pusat kontroversi pula.
Namun pendekatan Tarantino terhadap pastiche mampu bekerja dengan baik akibat dua faktor kunci. Satu, pemahamannya terhadap subjek atau ide yang ia ingin imitasikan. Sering, praktik tribut pada film-film lainnya dilakuan atas dasar penghormatan saja. Upaya-upaya kosong supaya mereplika adegan-adegan ikonik, tanpa melayani tujuan lebih mendalam. Sementara Tarantino menerapkan metode sampling demi progresivitas babak dan narasi filmnya, pun genre yang sedang ia ujicobakan. Pantas bila kemudian penonton sering tidak menyadari aksi-aksi pencuriannya.
Perhatikan baik-baik sekali lagi, setiap karya cipta Tarantino di layar lebar merepresentasikan penghormatan dan tributnya kepada pergerakan dan genre-genre tertentu di industri perfilman. Reservoir Dogs lahir dari film-film kriminal klasik Hong Kong; Pulp Fiction diadaptasi dari pergerakan French new wave; Jackie Brown berdasar kepada eksploitasi ras kulit hitam di Hollywood pada periode 1970-an; Kill Bill: Volume 1 dan Kill Bill: Volume 2 mengingatkan kita kembali kepada aksi-aksi kung fu dan samurai di film-film klasik Jepang; Death Proof berangkat dari usaha-usaha glorifikasi sinema low budget; dan Inglourious Basterds berpusat di industri film pada masa Perang Dunia II.
Sementara dua film terakhirnya, Django Unchained dan The Hatefull Eight, merupakan hasil olahan pastiche terhadap Italian spaghetti Westerns—subgenre Western yang populer di tahun 1960-an. Dan pada dua kesempatan itu, keahlian Tarantino di saat menyusun dialog-dialog tajam semakin diagungkan.
Pada dasarnya, karya-karya Tarantino ialah adaptasi ulang dari film-film adiluhung dan genre-genre klasik. Setiap adaptasi terjadi di dunia Tarantino sendiri, dimana kekerasan, ketidakadilan, seks, sinisme, dan satir berkeliaran bebas luar biasa. Ia mungkin lebih sadar dari siapa pun, bahwa manusia ketika ingin berkarya, tidak perlu jauh-jauh berkelana mencari inspirasi. Ada kalanya, ide-ide cemerlang bersemayam di tempat terdekat dan akrab. Bagi Tarantino, tempat itu berwujud lorong kaset VHS, tempat dimana ia dibesarkan.
Maka bukan hal yang mengejutkan jika pada film terbarunya, Once Upon A Time In Hollywood, Tarantino kembali mengadaptasi salah satu momen penting di industri perfilman.
Pertanyaannya, akankah ia kembali berhasil mengolah hasil curian, dan menyajikannya sebagai karya yang autentik?
0 Comments