The Joker, penjahat ikonik, tapi idola bagi banyak penduduk Bumi. Badut sadistik, tapi dicintai oleh banyak manusia.
Sudah jadi pengetahuan umum jika The Joker adalah maniak yang sadis, agen kekacauan dan kehancuran. Sebagai musuh abadi Batman, ia sudah menjadi dalang dari sekian banyak kriminalitas kejam di kota Gotham. The Joker bertanggung jawab atas lumpuhnya kedua kaki Barbara Gordon, putri James Gordon. The Joker pun aktor utama dari kematian Rachel Dawes, lantas hilangnya normalitas Harvey Dent. Pada beberapa installment, dia juga yang membunuh Thomas dan Martha Wayne.
The Joker adalah penjahat sempurna, tapi disukai pula oleh banyak manusia. Catatan kriminalnya menumpuk tinggi, tapi justru melimpah juga jumlah manusia yang terpincut oleh tingkahnya. Kenapa The Joker dapat menjadi salah satu ikon budaya populer? Kenapa ucapan-ucapannya justru sering dikutip sebagai kalimat bijak?
Sebab The Joker adalah penjahat yang unik, yang pintar, yang cerdik, yang tingkah lakunya spontan, yang selalu berlaku kejam dan tanpa motivasi jelas?
Boleh saja. Hanya, lebih dari sekadar cerdik dan spontan, penciptaan karakter The Joker juga menyimpan pesan mengerikan.
Entah menyajikan momen, “Mirip aku banget ya,” atau, “Wah, bener juga ya,” relateable dan masuk akal sering menjadi syarat utama sebuah karya dapat disukai oleh banyak manusia. Maka wajar jika lagu cinta yang menggelikan akan sering berputaran di mana-mana, biarpun lirik atau aransemennya seringkali hanya sekadar jadi. Lagipula, siapa sih yang tidak bermasalah dengan cinta?
Lantas, menjadi tanya sebenarnya, bagaimana bisa figur sadistik, kejam, bengis, dan cerdas seperti The Joker justru mampu beresonansi dengan manusia?—umat yang katanya mengutuk aksi jahat.
The Joker sering dideskripsikan sebagai lunatik, biadab, bermental labil, gila, senang bercanda, dan juga mudah tertawa. Sering keluar masuk fasilitas Arkham Asylum, perilaku Si Pangeran Kriminal berulang kali membahayakan nyawa penduduk kota Gotham. The Joker senang mengacaukan stabilitas kota Gotham dengan berjuta-juta jenis kriminal yang sembarang, serta mustahil ditebak arah tujuannnya.
Tapi, apa The Joker benar-benar seorang lunatik? Penjahat tanpa rencana? Benarkah ia hanya ingin melihat dunia di sekelilingnya kacau balau?
Pada The Dark Knight (2008), The Joker menjebak penduduk Gotham lewat skenario panjang dan kompleks, namun tersusun rapi. Setelah meneror keamanan kota Gotham dan memaksa penduduknya pergi dari kota, The Joker sudah menyiapkan bahan peledak di tengah kapal feri yang membawa seluruh penduduk sipil kota Gotham dan para tahanan penjara secara terpisah. Lalu ia memberi kesempatan kepada masing-masing penumpang feri agar dapat selamat dari ancaman bom, apabila penumpang pada salah satu feri bersedia meledakkan bom di feri berlawanan. The Joker pun memberi pengendali bom kepada masing-masing penumpang feri. Apabila penumpang dari kedua feri sama-sama tidak bersedia meledakkan bom di feri berlawanan dalam batas waktu tertentu, maka kedua feri akan meledak, hancur bersamaan.
Lain kata, The Joker dengan enteng berucap, “Kalau ingin tetap hidup, kamu harus bunuh orang lain.”
Skema kejam untuk menguji moralitas, memaksa manusia berada di ambang pilihan yang dapat mengaburkan batas benar dan salah, batas baik dan buruk. Skenario brilian, dan bukan pekerjaan dari seseorang tanpa rencana. Kontras, jebakan tersebut adalah hasil pekerjaan dari pikiran cerdas dan penuh perhitungan. Rencana matang yang dieksekusi sempurna.
Apa The Joker cuma seorang lunatik?
Tidak ada salahnya melihat jauh ke belakang terlebih dahulu, menggali asal usul kedatangan Si Pangeran Kriminal di kota Gotham.
Memang belum ada konfirmasi resmi atau cerita pasti seputar kelahiran The Joker. Ada banyak sekali spin-off dan installment yang menceritakan bagaimana karakter The Joker tercipta pertama kali. Meski begitu, poin utama dari setiap spin-off selalu sama, The Joker mengalami satu hari yang buruk sebelum menjadi seorang pangeran kriminal seperti sekarang. Satu hari yang buruk.
Salah satu yang populer adalah dari seri Batman: The Killing Joke.
Sebelum berevolusi menjadi pangeran kriminal, The Joker hanyalah manusia biasa. Ia adalah seorang mantan asisten laboratorium kimia yang baru saja meninggalkan pekerjaan utamanya, agar bisa fokus mengejar karir menjadi komedian. Dia juga memiliki seorang istri yang sedang mengandung anak pertamanya.
Sayang, ia gagal berkepanjangan menjadi seorang komedian. Penampilannya di panggung-panggung bar kecil tidak pernah memuaskan penonton. Kondisi itu lantas menekan situasi finansialnya. Untuk menyehatkan kembali kondisi keuangannya, The Joker ikut serta dengan komplotan pencuri yang sedang berencana merampok laboratorium kimia tempatnya dulu bekerja. Namun pada hari operasi perampokan, ia mendapat kabar jika istri dan anaknya yang belum lahir meninggal akibat kecelakaan.
Mendapat berita duka, The Joker dituntut oleh komplotan pencuri agar tetap menjalani tugasnya di operasi perampokan. The Joker terpaksa bersedia, dan ketika operasi itu mulai tampak akan berhasil, Batman datang mengganggu, menghentikan usaha kriminal The Joker dan komplotannya.
Pada saat pengejaran oleh Batman, The Joker terjatuh ke dalam wadah besar berisi cairan kimia berbahaya. Akibatnya, The Joker mengalami perubahan seketika pada fisiknya. Rambutnya berubah berselimutkan warna hijau, kulitnya mengelantang putih pucat, serta bibirnya menjadi merah sekental darah. The Joker pun lahir. Rentetan keterpurukan dalam satu hari lantas menciptakan The Joker seperti dikenal sekarang. Dia menemukan persepsi baru tentang hidup, penolakan terhadap semua nilai moral dan hidup yang nihil. The Joker menjadi ekstrimis nihilis.
Nihilis cenderung meyakini jika alam semesta dan isinya diciptakan dengan tanpa tujuan sama sekali. Nihilis percaya jika tidak ada nilai moral yang absolut, tidak ada benar atau salah, tidak ada baik atau buruk, tidak ada nilai pasti pada etika sekuler. Hidup hanya episode-episode sembarang untuk menunggu kematian.
Populer berkat filsuf asal Jerman Friedriech Nietzsche, ide tentang nihilisme sering disebut-sebut akan pernah hinggap di kepala setiap manusia pada suatu waktu. Bahkan menurut Nietzsche, setiap manusia memiliki benih-benih nihilis di dalam pikirannya. Yang dibutuhkan hanya satu krisis besar untuk dapat menumbuhkannya menjadi buah pikiran.
Sementara, layaknya ekstrimis, The Joker ingin buah pikiran itu tumbuh di setiap kepala penduduk kota Gotham.
The Joker selalu berusaha membawa penduduk kota Gotham menuju krisis, agar mereka dapat menyadari bahwa eksistensi umat manusia dan nilai pasti moralitas adalah hampa. Ia memancing Batman yang tak pernah mau membunuh agar sedia membunuhnya; ia memaksa James Gordon agar menuju kegilaan dengan cara menyiksa Barbara; ia menipu daya Harvey Dent agar menanggalkan sifat-sifat ksatrianya, lalu berubah menjadi The Two-Face; dan ia menyudutkan posisi penduduk sipil kota Gotham agar rela meledakkan feri yang sedang membawa tahanan-tahanan penjara.
Sebagai ekstrimis nihilis, The Joker sudah mengabaikan nilai-nilai kehidupan sebelumnya, dan dia ingin semua orang ikut terjun ke dalam jurang gelapnya. Solusi terbaiknya adalah dengan menghadirkan krisis besar, yang dapat menantang penduduk Gotham agar mempertanyakan kembali nilai-nilai moral yang sebelumnya mereka pegang teguh.
Batman sendiri adalah kubu seberang. Karakternya memang terlahir dari kondisi yang serupa dengan The Joker—satu hari yang buruk. Tetapi Bruce Wayne belum menjumpai krisis. Meski harus kehilangan ayah dan ibu, Bruce masih memiliki Wayne Enterprise, pun Alfred. Bruce belum pernah merasakan krisis sebagaimana buruknya pengalaman The Joker. Maka ia beri reaksi berbeda, menjadi seorang pahlawan dengan filosofi yang sedikit kartun. Menurutnya, “Semua manusia secara inheren ialah baik hatinya.”
Batman percaya jika pada dasarnya sifat umat manusia adalah baik hati. Batman percaya jika manusia pasti akan selalu memegang teguh nilai moralitas terbaik, ia pun senantiasa menunjukkannya dengan menjaga etos kerjanya—tidak pernah membunuh musuh-musuhnya.
Ini lantas mengapa dalam berbagai installment, The Joker sering memancing Batman agar mengkhianti nilai-nilai moralnya, agar bersedia membunuh The Joker. Dia ingin menunjukkan kepada Batman jika manusia pada dasarnya adalah sama dengan dirinya. The Joker ingin Batman mengakui, jika mereka adalah sama. Sama-sama mampu terjebak di dalam kegilaan, didekap nihilisme.
Beruntung, The Joker belum pernah berhasil sepenuhnya. Dia memang sempat hampir berhasil pada The Dark Knight—menggiring Harvey Dent ke jurang gelap. Berhasil meracuni “The White Knight” agar ikut ke dalam lingkaran filosofi nihilis ekstrim. The Joker berhasil membuktikan jika sosok terbaik dari warga kota Gotham pun dapat kehilangan nilai moralitasnya, cukup dengan satu kekacauan. Cukup dengan satu hari yang buruk.
Seperti Harvey Dent, setiap manusia juga memiliki kapabilitas untuk berpikir layaknya The Joker. Seperti ujaran Nietzsche, setiap manusia mulanya terlahir sebagai nihilis. Sampai kemudian, orang tua mereka masing-masing memberi kepercayaan-kepercayaan terbaru, yang didapat dari orang tua sebelumnya.
Nihilis bukan persepsi yang bisa dipilih bagi kebanyakan manusia. Ibarat jerawat, ide-ide tentang nihilisme tinggal menunggu krisis untuk dapat muncul ke permukaan.
Menurut psikoanalisis Carl Jung, setiap manusia memiliki hawa nafsu untuk berbuat nakal, meski sesekali. Jung menyebutnya, “The shadow (bayangan).” The shadow adalah alasan mengapa kolom komentar pada media sosial Facebook, Youtube, atau akun Instagram sering panas ibarat neraka lapis ketujuh. The shadow adalah bagian dari personal manusia yang sengaja mereka abaikan. The shadow adalah ide-ide tentang nihilisme yang dibiarkan mengendap di dasar pikiran.
The shadow pun alasan mengapa serial-serial permainan dengan atmosfer kriminal dan kekerasan seperti Grand Theft Auto, The Punisher, Left 4 Dead, Mortal Kombat, atau Manhunt bisa senantiasa laris di pasaran. Agar tetap setia pada nilai moralitas yang dipercaya baik, beberapa manusia lebih memilih menyalurkan eksistensi the shadow dengan permainan. Kini, di saat mereka melihat karakter fiktif seperti The Joker, rasa suka dan cinta bisa saja lepas kendali.
The Joker adalah lukisan terbaik tentang the shadow.
The Joker adalah semua hawa nafsu manusia yang ingin sekali-sekali berbuat di luar kultur biasa umat manusia. Yang ingin sekali-sekali berbuat buruk. Yang ingin juga bercerita jika hidup adalah hampa. Yang ingin bebas percaya jika benar, salah, baik, buruk adalah cerita fiksi belaka, dan berteriak kalau etika sekuler adalah omong kosong. The Joker adalah sisi gelap kemanusiaan yang sering disembunyikan, bahkan dari orang-orang terdekat sekali pun. Meski pada beberapa kesempatan, sisi gelap itu berkeliaran juga, keluar dari tempat persembunyian.
Sering terjadi jika sejumlah manusia pada akhirnya memilih merangkul the shadow, dan menjadi tidak peduli pada apapun lagi. Persepsi mereka tentang batas benar dan salah, baik dan buruk, menjadi kabur. Mereka lantas menjelma sebagai nihilis, mungkin perlahan menuju ekstrim. Sebagaimana pembunuhan yang justru dilakukan oleh manusia ramah nan baik hati. Sebutlah mereka yang menjadi pembunuh setelah bertemu kegagalan karir dan rumah tangga, sedangkan sebelumnya mereka hanyalah penduduk biasa yang mencintai istri, anak, dan teman-temannya.
The Joker adalah kalian. Adalah saya, adalah kamu, kita semua. The Joker selalu bermain di alam bawah sadar manusia. Yang dibutuhkan olehnya untuk berkuasa hanya satu hari yang buruk.
Pertanyaannya, seperti apa hari yang buruk untuk kalian?
0 Comments