“Emangnya kamu musisi? Emangnya kamu anak band? Udah pernah nulis lagu sendiri? Udah pernah rilis album sendiri? Sok-sok komentar soal RUU Permusikan. Sana bikin karya dulu! Jadi anggota DPR dulu, baru komentar!”
“Emangnya kamu ngerti musik? Sok-sok komentar soal musik orang lain. Sok-sok nulis kritik soal musik. Sok-sok nulis mana musik yang bagus mana yang bukan. Sana! Sana bikin musik sendiri dulu, baru nulis komentar yang rajin!”
“Emangnya kamu sutradara film? Emangnya kamu belajar soal film? Emangnya ngerti apa soal film? Bikin film sendiri dulu, baru komentar!”
“Emangnya kamu pemain sepakbola? Pernah jadi pemain sepakbola? Pernah jadi pelatih sepakbola? Sok-sok komentar soal sepakbola! Siapa sih yang bayar komentarmu soal sepakbola? Sok-sok komentar soal sepakbola aja sih? Ribet banget!”
Bukan. Memang bukan.
Saya bukan musisi. Bukan anggota DPR. Bukan sutradara film. Bukan pemain sepakbola. Bukan pelatih sepakbola. Bukan komentator sepakbola.
Hanya saja yang terakhir saya ketahui, saya adalah manusia. Longgokan daging yang kebetulan diberi otak dan akal. Mustahil ketika saya melihat, mendengar, atau menyimak suatu hal, kemudian otak saya tidak memunculkan satu atau dua buah pikiran tentang hal tersebut.
Apalagi tentang yang saya cinta—musik, fiksi, dan sepak bola.
Perkara utamanya adalah memuntahkan isi-isi kepala.
Kenapa dimuntahkan? Supaya kepala tidak penuh.
Kepala saya butuh ruang kosong. Tong kosong memang nyaring bunyinya, tapi kepala yang kosong ternyata dekat dengan bahagia.
Saya ingin ruang kosong di kepala. Menulis jadi pilihan aksi. Daripada hanya disimpan, lebih baik saya onani intelektual. Meski akal saya tidak intelek-intelek amat.
Kalau muncrat berlebihan, ya mohon maaf. Namanya juga nafsu yang sempat tertahan.
Selamat datang.
NARAHUBUNG
kotaksurat@idioteque.id
0 Comments